Sunday, December 25, 2011

Seribu Maaf untukmu Ibu



“Kak, tolong angkat jemuran di belakang ya...! Sepertinya mau turun hujan...” teriak ibu. “Bentar bu, aku lagi ngerjain tugas dulu, tanggung...” jawabku agak kesal. ‘Huh, ibu gak liat apa aku lagi pusing bikin tugas, masih aja disuruh-suruh,’ gumamku dalam hati. Aku pun tetap melanjutkan aktivitasku mengerjakan tugas di atas meja belajarku. “Sebentar aja kak, ini ibu lagi repot di dapur...” teriak ibuku lagi. “Iya, iya...!”. Kali ini aku menyerah. Aku beranjak dari meja belajarku dengan hati dongkol. Ku raih kerudung kaosku dan aku keluar dengan sedikit membanting pintu karena kesal. ‘Biar saja, biar ibu tahu kalau aku tidak suka,’ pikirku.
Dengan segera aku angkat semua jemuran itu dan kembali ku hadapi soal-soal matematika yang sempat kutinggalkan. ‘Fiuh...akhirnya selesai juga...’ ujarku sambil meregangkan kedua tangan dan pinggangku setelah hampir 3 jam aku duduk bersemedi untuk menyelesaikan semua tugas matematika ini.
Baru saja aku duduk di depan televisi untuk me-refresh kembali otakku yang sudah bekerja keras, ibuku datang menghampiriku dengan handuk di tangannya. “Kak, ibu mau ke pengajian. Kalau udah lapar, itu makanannya udah matang. Terus, nanti jangan lupa beres-beres rumah ya! Tadi ibu gak sempet”. “Hmmm...”, jawabku malas. Tatapanku masih tetap tertuju pada televisi di hadapanku saat ibuku berlalu ke belakang. ‘Ah...ibu... Gak bisa liat anaknya nyantai sedikit apa? Dikit-dikit nyuruh ini, dikit-dikit nyuruh itu. Capek!’ aku menggerutu dalam hati.
Pukul 17.30 WIB, sebentar lagi ibu pulang. Gawat, aku belum beres-beres rumah! ‘Kena marah lagi deh...’ pikirku. Segera aku ambil sapu di dapur dan dengan secepat kilat aku membereskan seisi rumah.

***

     “Ri, jangan lupa ya nanti siang kita ngaji di mesjid sekolah!” ujar desi mengingatkanku. Desi adalah sahabat terbaikku. Dia memang tidak satu kelas denganku, tapi rohis yang mempertemukanku dengannya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti Desi. Tak hanya pintar dalam hal akademik, namun pengetahuan tentang keagamaannya pun luar biasa. Dia bukan hanya sahabat, tapi juga guru bagiku. “Ok!” jawabku.
     Siang itu kami membahas tentang seorang wanita yang paling mulia di muka bumi ini. Sang malaikat bagi semua anak di dunia. Ibu. Betapa mulianya seorang ibu. Bahkan ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang siapakah orang yang harus dihormati, Rasulullah menjawab, “ibu...ibu...ibu...” sampai tiga kali baru kemudian “bapak”. Dalam Al-Qur’an pun dijelaskan bahwa kita tidak boleh berkata kasar kepada ibu kita, bahkan hanya kata ‘ah’ saja pun tidak diperbolehkan. Karena hal tersebut dapat menyakiti perasaannya. Ridha Allah berbanding lurus dengan ridha orang tua, terutama ibu kita.
     Tanpa sadar aku meneteskan air mata ketika sebuah video tentang ibu diputar. Sebenarnya video itu sudah sangat sering ditampilkan, baik itu saat acara keputrian, muhasabah, ataupun acara-acara lainnya. Namun entah mengapa, segala sesuatu yang berhubungan dengan ibu selalu membuatku tak kuasa untuk menahan air mata. Karena hal itu selalu membuatku tersadar atas semua dosa-dosa yang telah aku perbuat kepada ibuku. Aah... Ingin segera pulang rasanya. Aku ingin segera menatap wajah teduh ibuku.
     Hari ini aku harus menjadi anak yang baik! Itu tekadku setelah aku mendapatkan materi tentang ibu barusan. Yeah...apa daya. Aku selalu saja seperti ini. Rencana tinggallah rencana. Sesampainya di rumah, yang ada hanya lelah yang melanda. Niat membantu ibuku terkalahkan oleh rasa capek tubuhku. “Sudah pulang kak? Cepet mandi dan langsung makan!” ujar ibuku. Tanpa banyak komentar aku segera mematuhinya.

***

     Dua buan lagi ujian nasional. Semua siswa kelas XII sibuk mempersiapkan diri agar dapat lulus dan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Begitu juga denganku, hari-hariku diisi dengan pemantapan pagi di sekolah lalu siang pun pemantapan sampai sore. Sampai ke rumah pun aku sering mengunci diri di kamar untuk belajar. Tak ada waktu untuk yang lain. Bahkan untuk membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah pun tidak sempat. Namun ibu memahami hal itu. Ia pun ingin agar putrinya dapat lulus dengan nilai yang baik.
     Hari itu pun tiba. Tiga hari yang menegangkan. Rasanya aku tak ingi bertemu dengan hari ini, namun apa daya, semuanya harus dilewati. Bukankah ada pepatah bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian? Yups! Tepat sekali. Setelah UN berakhir sepertinya dunia ini terasa lebih indah. Terlebih lagi dengan libur panjang menanti pengumuman. ‘Waaahhh...saatnya bersantai-santai,” pikirku.

***

     Hari ini adalah hari pertamaku menjadi seorang mahasiswa. Aku diterima di universitas yang aku idam-idamkan selama ini. Aku merasa cita-citaku untuk menjadi seorang guru semakin dekat untuk ku raih. Di sini, di kota yang jauh dari rumah, aku hidup sendiri. Sahabatku Desi memilih universitas yang berbeda denganku. Sedih, tapi apa boleh buat, kami memiliki impian masing-masing. Namun kami berjanji untuk tetap menjaga komunikasi meskipun terpisah oleh jarak dan waktu.
     Mulai hari ini pula, aku harus mengurus diriku sendiri, tanpa bantuan ibuku yang selama ini siap sedia dalam segala kondisi. Aku pikir aku bisa melakukannya, namun ternyata sulit. Setelah kurang lebih  dua bulan aku menempuh studiku di sini, aku sangat merindukan ibuku. Ternyata begini rasanya jauh dari ibu. Ibu yang bisa menjadi tempat curahan hati ketika sedang gundah. Ibu yang selalu membantuku dikala aku sedang kesulitan dalam segala hal. Kini aku tidak dapat melihat wajahnya sesering dulu. Apalagi ketika aku mengikuti kegiatan di kampus yang bertemakan ibu, rinduku padanya begitu membuncah, namun begitu sulit untuk berjumpa dengannya.
     Hingga pada suatu hari, aku mendapat kabar dari ayahku, “Ri, ibumu mengalami kecelakaan motor. Sekarang kondisinya sedang kritis,” ujar ayahku lewat telepon. Saat itu aku merasa ada sebuah gunung yang menimpa kepalaku. Tubuhku lemas mendengarnya. Air mataku terus mengalir. Deras. Dan tak berhenti. Hari itu juga aku segera meluncur pulang untuk menemui ibuku. Untuk melihat wajah ibuku dan merasakan peluk hangat tubuhnya lagi setelah sekian lama aku tak dapat merasakannya.
     ‘Ibu aku mencintaimu. Ibu aku pulang, maafkan aku bu, maafkan atas semua kesalahanku’. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku memanjatkan doaku pada-Nya. Aku tak kuasa menahan air mata yang dari awal sudah berjatuhan. Yang ada dalam kepalaku saat ini adalah wajah ibuku, wajah teduh yang sedang menatapku dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya.
     Akhirnya ku lihat ibuku. Seorang wanita yang begitu kuat kini tengah terkulai lemah di atas tempat tidur. Aku segera menghambur ke arahnya. Segera ku cium pipi dan tangan ibuku. “Bu, ini aku Riri putri ibu. Aku pulang bu. Apa ibu tidak mau menyambut kedatanganku? Ayo bu bangun! Jangan tidur seperti ini...” ucapku lirih di telinga ibuku.
     Sakit. Hatiku terasa disayat-sayat melihat kondisi seorang wanita yang sangat berarti dalam hidupku ini. Wajahnya yang selalu tersenyum kini pucat. Rambutnya yang senantiasa tertutup jilbab kini ditutupi oleh perban. Tangannya yang cekatan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga kini terbalut perban dan kain putih.
     Masih lekat dalam ingatanku perjuangan ibuku sehari-hari mengurusi kami mulai dari pagi sampai malam kembali. Dia bangun dini hari untuk melakukan shalat malam. Setelah itu dilanjutkan dengan mencuci baju, memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolahku dan adikku. Disaat anak-anaknya sekolah, dia pun sibuk membereskan rumah, memasak untuk makan siang dan makan malam serta banyak hal yang telah ia lakukan untuk kami. Kini aku sadar, lelah yang aku rasakan dulu ketika aku tidak mau disuruh membereskan rumah sepulang sekolah tidak seberapa jika dibandingkan dengan lelahnya ibuku menjalani rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga. Hanya disuruh menyapu rumah saja kesalnya bukan main. Padahal ibuku yang mengurusiku dari sejak lahir sampai sekarang, menghadapi kenakalanku dan segala yang membuatnya marah, dia tidak pernah sekali pun menggerutu dan mengaku kesal dan lelah di hadapanku. Sementara aku?
     “Maafkan aku bu... Selama ini aku sudah membuatmu jengkel. Maafkan aku sudah membiarkanmu bekerja sendirian dengan pekerjaan rumah sebanyak itu. Maafkan aku karena sering membuatmu sakit hati dengan ucapan-ucapan kasarku atau sikap ketidakikhlasanku dalam melakukan perintahmu. Maafkan aku bu...” lirihku sambil mencium telapak tangannya.
     “Ya Allah, aku mohon jangan ambil dia dulu dariku. Aku masih ingin berbakti padanya. Aku ingin menebus semua kesalahanku dulu padanya. Aku ingin membahagiakannya Ya Allah... Aku hanya ingin melihatnya tersenyum kembali...”

***

Sebuah refleksi diri dan persembahan untuk ibuku tercinta
Semoga bermanfaat

Bandung, 25 Desember 2011
Pukul 23:32 WIB

Evi Nur Aprianti

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 Precious Life. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.