“Kak, tolong angkat jemuran di
belakang ya...! Sepertinya mau turun hujan...” teriak ibu. “Bentar bu, aku lagi
ngerjain tugas dulu, tanggung...” jawabku agak kesal. ‘Huh, ibu gak liat apa
aku lagi pusing bikin tugas, masih aja disuruh-suruh,’ gumamku dalam hati. Aku
pun tetap melanjutkan aktivitasku mengerjakan tugas di atas meja belajarku. “Sebentar
aja kak, ini ibu lagi repot di dapur...” teriak ibuku lagi. “Iya, iya...!”.
Kali ini aku menyerah. Aku beranjak dari meja belajarku dengan hati dongkol. Ku
raih kerudung kaosku dan aku keluar dengan sedikit membanting pintu karena
kesal. ‘Biar saja, biar ibu tahu kalau aku tidak suka,’ pikirku.
Dengan segera aku angkat semua
jemuran itu dan kembali ku hadapi soal-soal matematika yang sempat
kutinggalkan. ‘Fiuh...akhirnya selesai juga...’ ujarku sambil meregangkan kedua
tangan dan pinggangku setelah hampir 3 jam aku duduk bersemedi untuk menyelesaikan
semua tugas matematika ini.
Baru saja aku duduk di depan
televisi untuk me-refresh kembali
otakku yang sudah bekerja keras, ibuku datang menghampiriku dengan handuk di
tangannya. “Kak, ibu mau ke pengajian. Kalau udah lapar, itu makanannya udah
matang. Terus, nanti jangan lupa beres-beres rumah ya! Tadi ibu gak sempet”. “Hmmm...”,
jawabku malas. Tatapanku masih tetap tertuju pada televisi di hadapanku saat
ibuku berlalu ke belakang. ‘Ah...ibu... Gak bisa liat anaknya nyantai sedikit
apa? Dikit-dikit nyuruh ini, dikit-dikit nyuruh itu. Capek!’ aku menggerutu
dalam hati.
Pukul 17.30 WIB, sebentar lagi
ibu pulang. Gawat, aku belum beres-beres rumah! ‘Kena marah lagi deh...’
pikirku. Segera aku ambil sapu di dapur dan dengan secepat kilat aku
membereskan seisi rumah.
***
“Ri, jangan lupa
ya nanti siang kita ngaji di mesjid sekolah!” ujar desi mengingatkanku. Desi
adalah sahabat terbaikku. Dia memang tidak satu kelas denganku, tapi rohis yang
mempertemukanku dengannya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti Desi. Tak
hanya pintar dalam hal akademik, namun pengetahuan tentang keagamaannya pun
luar biasa. Dia bukan hanya sahabat, tapi juga guru bagiku. “Ok!” jawabku.
Siang itu kami
membahas tentang seorang wanita yang paling mulia di muka bumi ini. Sang
malaikat bagi semua anak di dunia. Ibu. Betapa mulianya seorang ibu. Bahkan ketika
seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang siapakah orang yang
harus dihormati, Rasulullah menjawab, “ibu...ibu...ibu...” sampai tiga kali
baru kemudian “bapak”. Dalam Al-Qur’an pun dijelaskan bahwa kita tidak boleh
berkata kasar kepada ibu kita, bahkan hanya kata ‘ah’ saja pun tidak
diperbolehkan. Karena hal tersebut dapat menyakiti perasaannya. Ridha Allah
berbanding lurus dengan ridha orang tua, terutama ibu kita.
Tanpa sadar aku
meneteskan air mata ketika sebuah video tentang ibu diputar. Sebenarnya video
itu sudah sangat sering ditampilkan, baik itu saat acara keputrian, muhasabah,
ataupun acara-acara lainnya. Namun entah mengapa, segala sesuatu yang
berhubungan dengan ibu selalu membuatku tak kuasa untuk menahan air mata.
Karena hal itu selalu membuatku tersadar atas semua dosa-dosa yang telah aku
perbuat kepada ibuku. Aah... Ingin segera pulang rasanya. Aku ingin segera
menatap wajah teduh ibuku.
Hari ini aku harus
menjadi anak yang baik! Itu tekadku setelah aku mendapatkan materi tentang ibu
barusan. Yeah...apa daya. Aku selalu saja seperti ini. Rencana tinggallah
rencana. Sesampainya di rumah, yang ada hanya lelah yang melanda. Niat membantu
ibuku terkalahkan oleh rasa capek tubuhku. “Sudah pulang kak? Cepet mandi dan
langsung makan!” ujar ibuku. Tanpa banyak komentar aku segera mematuhinya.
***
Dua buan lagi
ujian nasional. Semua siswa kelas XII sibuk mempersiapkan diri agar dapat lulus
dan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Begitu juga denganku, hari-hariku
diisi dengan pemantapan pagi di sekolah lalu siang pun pemantapan sampai sore. Sampai
ke rumah pun aku sering mengunci diri di kamar untuk belajar. Tak ada waktu
untuk yang lain. Bahkan untuk membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah pun
tidak sempat. Namun ibu memahami hal itu. Ia pun ingin agar putrinya dapat
lulus dengan nilai yang baik.
Hari itu pun tiba.
Tiga hari yang menegangkan. Rasanya aku tak ingi bertemu dengan hari ini, namun
apa daya, semuanya harus dilewati. Bukankah ada pepatah bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian? Yups! Tepat sekali. Setelah UN berakhir sepertinya
dunia ini terasa lebih indah. Terlebih lagi dengan libur panjang menanti
pengumuman. ‘Waaahhh...saatnya bersantai-santai,” pikirku.
***
Hari ini adalah
hari pertamaku menjadi seorang mahasiswa. Aku diterima di universitas yang aku
idam-idamkan selama ini. Aku merasa cita-citaku untuk menjadi seorang guru semakin
dekat untuk ku raih. Di sini, di kota yang jauh dari rumah, aku hidup sendiri.
Sahabatku Desi memilih universitas yang berbeda denganku. Sedih, tapi apa boleh
buat, kami memiliki impian masing-masing. Namun kami berjanji untuk tetap
menjaga komunikasi meskipun terpisah oleh jarak dan waktu.
Mulai hari ini
pula, aku harus mengurus diriku sendiri, tanpa bantuan ibuku yang selama ini
siap sedia dalam segala kondisi. Aku pikir aku bisa melakukannya, namun
ternyata sulit. Setelah kurang lebih dua
bulan aku menempuh studiku di sini, aku sangat merindukan ibuku. Ternyata
begini rasanya jauh dari ibu. Ibu yang bisa menjadi tempat curahan hati ketika
sedang gundah. Ibu yang selalu membantuku dikala aku sedang kesulitan dalam
segala hal. Kini aku tidak dapat melihat wajahnya sesering dulu. Apalagi ketika
aku mengikuti kegiatan di kampus yang bertemakan ibu, rinduku padanya begitu
membuncah, namun begitu sulit untuk berjumpa dengannya.
Hingga pada suatu
hari, aku mendapat kabar dari ayahku, “Ri, ibumu mengalami kecelakaan motor. Sekarang
kondisinya sedang kritis,” ujar ayahku lewat telepon. Saat itu aku merasa ada sebuah
gunung yang menimpa kepalaku. Tubuhku lemas mendengarnya. Air mataku terus
mengalir. Deras. Dan tak berhenti. Hari itu juga aku segera meluncur pulang
untuk menemui ibuku. Untuk melihat wajah ibuku dan merasakan peluk hangat
tubuhnya lagi setelah sekian lama aku tak dapat merasakannya.
‘Ibu aku
mencintaimu. Ibu aku pulang, maafkan aku bu, maafkan atas semua kesalahanku’. Sepanjang
perjalanan, tak henti-hentinya aku memanjatkan doaku pada-Nya. Aku tak kuasa
menahan air mata yang dari awal sudah berjatuhan. Yang ada dalam kepalaku saat
ini adalah wajah ibuku, wajah teduh yang sedang menatapku dengan sebuah
senyuman yang tersungging di bibirnya.
Akhirnya ku lihat
ibuku. Seorang wanita yang begitu kuat kini tengah terkulai lemah di atas
tempat tidur. Aku segera menghambur ke arahnya. Segera ku cium pipi dan tangan
ibuku. “Bu, ini aku Riri putri ibu. Aku pulang bu. Apa ibu tidak mau menyambut
kedatanganku? Ayo bu bangun! Jangan tidur seperti ini...” ucapku lirih di
telinga ibuku.
Sakit. Hatiku terasa disayat-sayat melihat kondisi seorang wanita yang sangat berarti dalam hidupku ini. Wajahnya yang selalu tersenyum kini pucat. Rambutnya yang senantiasa tertutup jilbab kini ditutupi oleh perban. Tangannya yang cekatan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga kini terbalut perban dan kain putih.
Sakit. Hatiku terasa disayat-sayat melihat kondisi seorang wanita yang sangat berarti dalam hidupku ini. Wajahnya yang selalu tersenyum kini pucat. Rambutnya yang senantiasa tertutup jilbab kini ditutupi oleh perban. Tangannya yang cekatan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga kini terbalut perban dan kain putih.
Masih lekat dalam
ingatanku perjuangan ibuku sehari-hari mengurusi kami mulai dari pagi sampai
malam kembali. Dia bangun dini hari untuk melakukan shalat malam. Setelah itu
dilanjutkan dengan mencuci baju, memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolahku
dan adikku. Disaat anak-anaknya sekolah, dia pun sibuk membereskan rumah,
memasak untuk makan siang dan makan malam serta banyak hal yang telah ia
lakukan untuk kami. Kini aku sadar, lelah yang aku rasakan dulu ketika aku
tidak mau disuruh membereskan rumah sepulang sekolah tidak seberapa jika
dibandingkan dengan lelahnya ibuku menjalani rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.
Hanya disuruh menyapu rumah saja kesalnya bukan main. Padahal ibuku yang
mengurusiku dari sejak lahir sampai sekarang, menghadapi kenakalanku dan segala
yang membuatnya marah, dia tidak pernah sekali pun menggerutu dan mengaku kesal
dan lelah di hadapanku. Sementara aku?
“Maafkan aku bu...
Selama ini aku sudah membuatmu jengkel. Maafkan aku sudah membiarkanmu bekerja
sendirian dengan pekerjaan rumah sebanyak itu. Maafkan aku karena sering
membuatmu sakit hati dengan ucapan-ucapan kasarku atau sikap ketidakikhlasanku
dalam melakukan perintahmu. Maafkan aku bu...” lirihku sambil mencium telapak
tangannya.
“Ya Allah, aku
mohon jangan ambil dia dulu dariku. Aku masih ingin berbakti padanya. Aku ingin
menebus semua kesalahanku dulu padanya. Aku ingin membahagiakannya Ya Allah...
Aku hanya ingin melihatnya tersenyum kembali...”
***
Sebuah refleksi diri dan persembahan untuk ibuku tercinta
Semoga bermanfaat
Bandung, 25 Desember 2011
Pukul 23:32 WIB
Evi Nur Aprianti